Rabu, 01 Mei 2013

NOL

Diposting oleh Your Sunday Morning di 15.59


            Seperti bunga yang mengikuti arah matahari.. Seperti itulah rasaku.. Menuju hatimu..
            “Aku suka cewek yang menggerai rambutnya. Cantik. Anggun..”
            Aku membuka mulut beberapa saat, lalu menutupnya lagi. Balasan semacam ‘Menggerai rambut itu gerah, ribet.”  kutelan begitu saja. Kumakan sendiri. Karena aku tahu, besok tentu saja aku akan mengikuti apa maumu. Menggerai rambut panjangku..
Besoknya, ketika kamu melihat gadis dengan rok-rok panjang, kamu berkata lagi. “Perempuan yang pakai rok itu manis ya.. Keliatan dewasa.. Sedap dipandang mata.”
            Aku hendak membalas, ‘Pakai rok itu nggak bisa gerak bebas.”. Tapi lagi-lagi, kutelan sendiri kata-kata itu. Karena aku tahu, malam ini aku akan ke toko baju, membeli rok yang cantik, lalu memakainya besok.
Besoknya lagi, ketika kita makan di salah satu cafe, kamu berkata “High heels itu selalu membuat kaki perempuan berkali-kali lipat lebih indah.”
Kata-kata itu sudah hampir terlontar. ‘High heels itu menakutkan. Nggak bisa dipakai jalan cepat.’ Tapi sia-sia. Aku kembali memendamnya. Karena aku tahu, nanti malam pasti aku akan meminjam high heels ibuku. Lalu memakainya besok.. Untukmu..
Ya, selama ini, aku tak pernah lelah melakukan semuanya untukmu. Menelan, memendam sendiri inginku. Tapi sekarang aku bertanya-tanya. Kapan kamu akan melihatku?

Aku sedang menghitung waktu.. Menanti saat hatimu mempertimbangkanku..
            Suatu hari, Riena, salah satu temanku di kelas managemen, bertanya padaku. “Kania, kamu suka sama Azhar?”
            Aku diam sebentar, lalu tersenyum. Semua orang tahu tentang perasaanku itu. Kedekatan kami dua tahun ini menceritakan semuanya tanpa aku perlu repot-repot menjelaskan. Ya, semua orang. Kecuali Azhar sepertinya.
            “Kamu udah bilang sama dia?”
            Aku hanya menggeleng. Mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Yang benar saja!
            “Mencintai sendiri itu nggak pernah enak. Menyiksa. Mending kamu cepat bilang. Kalau dia nggak suka, kamu bisa mundur. Daripada jadi perkara.”
            Aku termenung mendengar perkataan Riena yang lumayan menohok barusan. Riena memang seperti itu. Ia jarang bicara. Tapi sedikit saja ia mengeluarkan suara, kata-katanya tajam dan langsung mengena. Tapi.. bukankah apa yang dikatakan Riena barusan ada benarnya? Bahwa jujur saja, mencintai sendiri itu tidak mudah.. Bahwa terkadang, mencintai sendiri itu melelahkan..
            Jadi apa yang harus aku lakukan? Menemui Azhar dan mengatakan semua yang kurasakan terhadapnya? Rasanya itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini.

Ketika senja.. Ketika hujan menebar aroma wanginya.. Ketika itulah kau datang..
            “Boleh aku duduk?”
            Aku mengangkat kepala dan menemukan seorang laki-laki dengan tubuh setengah basah berdiri di hadapanku. Di luar hujan sedang turun rintik-rintik. Mungkin laki-laki itu baru saja menerobos hujan.
            “Silahkan,” sahutku sambil menggeser posisi tubuhku. Tempat duduk lain di halte ini memang sudah penuh. Sebagian diisi orang-orang yang berteduh, menunggu hujan berhenti. Sepertiku.
            Laki-laki itu segera duduk. Tangannya langsung sibuk menekan-nekan tombol di ponselnya. Sesekali juga melirik jam tangannya. Terlihat sibuk sekali. Sama sekali tak memperdulikan tetes air yang jatuh dari bajunya yang setengah basah.
            “Ini.” Entah bagaima caranya, aku mengangsurkan sebungkus tissue pada laki-laki itu. Biasanya aku tak pernah begini. Entahlah.. Aku hanya merasa setidaknya ia perlu mengeringkan wajahnya yang kuyup karena air hujan.
            Laki-laki itu menatap sebungkus tissue itu dengan kening berkerut, kemudian menatapku sebentar. Sejurus kemudian ia meraih sebungkus tissue yang kuangsurkan. “Terimakasih,” ucapnya sambil tersenyum sekilas.
            Aku hanya menganggguk, lalu bemaksud kembali menekuni novel dalam pangkuanku. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, mataku menangkap sesuatu yang sepertinya kukenal melekat pada laki-laki di sebelahku. Karena itu, aku kembali menoleh. Meneliti laki-laki di sampingku itu dengan seksama. Dan benar saja. Laki-laki itu mengenakan jaket himpunan jurusanku!
            “Manajemen UNAIR?”
            Laki-laki itu kembali menoleh. Dahinya berkerut samar mendengar pertanyaanku. “Iya.. Punya kenalan?”
            “Saya juga manajemen UNAIR.”
            Untuk sesaat, mata laki-laki itu membulat. Dan saat itulah aku menyadari bahwa laki-laki itu mempunyai warna bola mata cokelat muda yang indah sekali. Senada dengan kulitnya yang kecokelatan. “Oya? Angkatan berapa?”
            “2012,” sahutku pelan sambil berusaha menerka angkatan berapa laki-laki di sampingku ini.
            Laki-laki itu mengangguk-angguk. “Oh.. Pantesan kayak pernah lihat,” ujarnya lalu mengulurkan tangan. “Aku Azhar. Angkatan 2012 juga,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
            Untuk beberapa detik aku serasa tersihir dengan senyumannya. Sebelum akhirnya menjabat tangan besar yang hangat itu. “Kania.”
            Dan begitulah. Di tengah rintik hujan yang mulai menipis.. Di tengah aroma tanah yang ditinggalkan hujan.. Cinta mulai tersemai. Di hatiku. Entah bagaimana di hatinya..

Aku suka melihat pelangi dengan tumpukan warnanya.. Kau juga suka..
Aku suka membayangkanmu yang penuh warna saat melihatnya.. Apakah kau juga?
            “Zhar kamu udah ngerjain laporan managemen?” Aku bertanya sambil membolak-balik lembar-lembar laporan di tanganku.
            “Belum,” jawab Azhar singkat.
            “Sama sekali?”
            “Iya. Kan kita belum survey lokasi.”
            Dahiku mengernyit. Tunggu. Survey lokasi? “Itu kan tugas statistik.”
            Tak ada sahutan dari Azhar, membuatku mengangkat kepala. Dan yang kulihat setelahnya adalah pandangan Azhar yang mengarah pada satu titik. Tak ada kedipan dalam jangka waktu yang lama. Ketika aku mengikuti arah pandangannya dan mengetahui objek yang daritadi dipandanginya, dadaku mendadak sesak. Oksigen seakan lenyap dari peredaran. Dia.. Seseorang yang ditatap Azhar. Seseorang yang selalu ditatap Azhar. Seseorang yang ternyata, masih saja ada dalam pantulan matanya. Naira.. Mantan kekasihnya.
            Sudah setahun lebih Azhar putus hubungan dengan Naira. Waktu yang cukup lama untuk melupakan semuanya kurasa. Tapi ternyata aku salah. Bagi Azhar, waktu selama itu tak berarti apa-apa. Tak mengurangi sedikitpun rasanya untuk gadis itu. Tak mengurangi hasratnya untuk kembali bersama gadis itu. Dan tentu saja, tak membuatnya berpaling sama sekali.
            Yah, tentu saja. Untuk apa Azhar berpaling dari gadis sesempurna itu? Gadis yang membuat semua gadis di sekelilingnya menyimpan iri dalam hati karena kesempurnaanya. Tak usah dijelaskan seperti apa. Yang jelas, Naira adalah cerminan gadis sempurna yang seharusnya hanya ada dalam cerita-cerita fiktif, cerita-cerita yang kadang tak masuk akal.
            Aku menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan mataku yang mulai basah. Sudah dua tahun aku mengenal Azhar. Yang artinya, sudah dua tahun pula aku menyimpan rasaku sendiri. Setahun pertama terlewati dengan sangat sulit karena Azhar masih bersama Naira. Yang artinya, aku harus pandai-pandai menjaga perasaan. Tahun kedua, setahun ini tepatnya, kurasa akan lebih mudah karena Azhar dan Naira putus hubungan dengan alasan yang tidak jelas. Tapi lagi-lagi, aku salah. Ini jelas tak lebih mudah dari sebelumnya. Mereka memang putus hubungan. Tapi pikiran Azhar justru semakin melekat pada Naira. Dan tentu saja, tak ada ruang untukku dalam pikirannya. Dan aku mencoba untuk sabar. Menunggu Azhar siap menerima cinta baru dalam hidupnya. Tapi belakangan ini aku sering bertanya-tanya. Sampai kapan aku harus menunggu?

Katanya, cinta tak pernah membuatmu menunggu..
Lalu disebut apa waktu yang selama ini kuhabiskan untukmu?
            “Kamu masih belum bilang ke Azhar soal perasaanmu?”
            Suara Riena mengusik lamunanku. Aku menarik napas pendek. Kesal. Kenapa belakangan ini Riena selalu memilih bangku di sebelahku? Masih banyak bangku lain!
            Aku diam saja. Memilih tak menjawab pertanyaannya.
            “Kamu nggak sedang menunggu kan? Menunggu Azhar mencintaimu maksudku,” ujar Riena.
            Bukan urusanmu! Sebenarnya itu yang ingin kukatakan. Tapi segera kuurungkan. Aku sedang kehilangan mood untuk melakukan apapun. Termasuk meladeni semua omong kosong Riena.
            “Cinta nggak pernah membuatmu menunggu. Kalau kamu merasa sedang menunggu, kamu nggak benar-benar mencintainya. Karena setidaknya, cinta tak pernah membuatmu merasa menunggu.”
            Aku masih diam mencerna kata-kata Riena barusan. Menunggu? Itukah yang kulakukan selama ini? Menunggu Azhar melihatku? Menungggu Azhar memberikan kesempatan untukku? Menunggu Azhar membuka hatinya untukku? Kalu bukan menunggu, lantas disebut apa semua waktu yang keberikan untuk Azhar? Disebut apa semua perubahan yang kulakukan untuk Azhar?
            “Harapan.. Semua waktu yang kamu berikan itu adalah harapan kalau kamu benar-benar cinta,” sahut Riena seakan tahu pertanyaan yang menari-nari dalam kepalaku. Aku jadi curiga kalau Riena ini sebenarnya adalah cenayang karena daritadi ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
            “Mencintai sendiri itu sama dengan nol.” Riena kembali berujar, membuatku diam-diam mendengarkannya. “Sebanyak apapun kamu mengumpulkan angka nol, hasilnya sama saja. Sia-sia.”
            Aku terhenyak mendengar perkataan Riena. iena Kata-katanya barusan benar-benar menghujam tepat di ulu hatiku. Nyeri. Bukan karena tersinggung. Tapi nyeri karena aku menyadari bahwa apa yang dikatakan Riena adalah benar. Nyeri karena menyadari bahwa, memang apa yang kulakukan selama ini sia-sia. Bahwa mencintai sendiri itu tak ada gunanya. Bahwa selama ini aku hanya sibuk menunggu dan mengurusi hatiku yang tak juga terpaut. Bahwa aku ternyata tak pernah berusaha maju.
            “Katakan.. Atau berhenti sebelum terlambat,” pungkas Riena sebelum membuka diktat kuliahnya. Lalu seakan tenggelam di dalamnya.
            Angin bertiup pelan dari jendela besar di sebelahku yang tadi sengaja kubuka. Segar. Menyapu tetes-tetes keringat yang sempat mampir di ujung-ujung kulitku. Mataku menatap lurus Azhar yang sekarang tengah tertawa-tawa di barisan depan bersama beberappa teman lelakinya. Dan pikiran itu muncul di kepalaku. Cepat. Tegas. Meminta untuk segera dikerjakan.
            Akuu harus membuat keputusan. Sekarang. Seperti kata Riena, katakan.. atau berhenti sebelum terlambat..


Saat sendiri, aku selalu bertanya-tanya..
Kapan kau akan mengulurkan tanganmu padaku?
Menepis semua sepi di hatiku..
Saat jauh darimu, aku selalu bertanya-tanya..
Akankah kau merindukanku?
Seperti aku yang rasanya dicekik rindu setiap waktu..
Saat berdiri di hadapanmu..
Aku hanya berharap satu..
Semoga kau cepat melupakan masa lalumu..

0 komentar on "NOL"

Posting Komentar

Rabu, 01 Mei 2013

NOL

Diposting oleh Your Sunday Morning di 15.59


            Seperti bunga yang mengikuti arah matahari.. Seperti itulah rasaku.. Menuju hatimu..
            “Aku suka cewek yang menggerai rambutnya. Cantik. Anggun..”
            Aku membuka mulut beberapa saat, lalu menutupnya lagi. Balasan semacam ‘Menggerai rambut itu gerah, ribet.”  kutelan begitu saja. Kumakan sendiri. Karena aku tahu, besok tentu saja aku akan mengikuti apa maumu. Menggerai rambut panjangku..
Besoknya, ketika kamu melihat gadis dengan rok-rok panjang, kamu berkata lagi. “Perempuan yang pakai rok itu manis ya.. Keliatan dewasa.. Sedap dipandang mata.”
            Aku hendak membalas, ‘Pakai rok itu nggak bisa gerak bebas.”. Tapi lagi-lagi, kutelan sendiri kata-kata itu. Karena aku tahu, malam ini aku akan ke toko baju, membeli rok yang cantik, lalu memakainya besok.
Besoknya lagi, ketika kita makan di salah satu cafe, kamu berkata “High heels itu selalu membuat kaki perempuan berkali-kali lipat lebih indah.”
Kata-kata itu sudah hampir terlontar. ‘High heels itu menakutkan. Nggak bisa dipakai jalan cepat.’ Tapi sia-sia. Aku kembali memendamnya. Karena aku tahu, nanti malam pasti aku akan meminjam high heels ibuku. Lalu memakainya besok.. Untukmu..
Ya, selama ini, aku tak pernah lelah melakukan semuanya untukmu. Menelan, memendam sendiri inginku. Tapi sekarang aku bertanya-tanya. Kapan kamu akan melihatku?

Aku sedang menghitung waktu.. Menanti saat hatimu mempertimbangkanku..
            Suatu hari, Riena, salah satu temanku di kelas managemen, bertanya padaku. “Kania, kamu suka sama Azhar?”
            Aku diam sebentar, lalu tersenyum. Semua orang tahu tentang perasaanku itu. Kedekatan kami dua tahun ini menceritakan semuanya tanpa aku perlu repot-repot menjelaskan. Ya, semua orang. Kecuali Azhar sepertinya.
            “Kamu udah bilang sama dia?”
            Aku hanya menggeleng. Mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Yang benar saja!
            “Mencintai sendiri itu nggak pernah enak. Menyiksa. Mending kamu cepat bilang. Kalau dia nggak suka, kamu bisa mundur. Daripada jadi perkara.”
            Aku termenung mendengar perkataan Riena yang lumayan menohok barusan. Riena memang seperti itu. Ia jarang bicara. Tapi sedikit saja ia mengeluarkan suara, kata-katanya tajam dan langsung mengena. Tapi.. bukankah apa yang dikatakan Riena barusan ada benarnya? Bahwa jujur saja, mencintai sendiri itu tidak mudah.. Bahwa terkadang, mencintai sendiri itu melelahkan..
            Jadi apa yang harus aku lakukan? Menemui Azhar dan mengatakan semua yang kurasakan terhadapnya? Rasanya itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini.

Ketika senja.. Ketika hujan menebar aroma wanginya.. Ketika itulah kau datang..
            “Boleh aku duduk?”
            Aku mengangkat kepala dan menemukan seorang laki-laki dengan tubuh setengah basah berdiri di hadapanku. Di luar hujan sedang turun rintik-rintik. Mungkin laki-laki itu baru saja menerobos hujan.
            “Silahkan,” sahutku sambil menggeser posisi tubuhku. Tempat duduk lain di halte ini memang sudah penuh. Sebagian diisi orang-orang yang berteduh, menunggu hujan berhenti. Sepertiku.
            Laki-laki itu segera duduk. Tangannya langsung sibuk menekan-nekan tombol di ponselnya. Sesekali juga melirik jam tangannya. Terlihat sibuk sekali. Sama sekali tak memperdulikan tetes air yang jatuh dari bajunya yang setengah basah.
            “Ini.” Entah bagaima caranya, aku mengangsurkan sebungkus tissue pada laki-laki itu. Biasanya aku tak pernah begini. Entahlah.. Aku hanya merasa setidaknya ia perlu mengeringkan wajahnya yang kuyup karena air hujan.
            Laki-laki itu menatap sebungkus tissue itu dengan kening berkerut, kemudian menatapku sebentar. Sejurus kemudian ia meraih sebungkus tissue yang kuangsurkan. “Terimakasih,” ucapnya sambil tersenyum sekilas.
            Aku hanya menganggguk, lalu bemaksud kembali menekuni novel dalam pangkuanku. Tapi belum sempat niat itu terlaksana, mataku menangkap sesuatu yang sepertinya kukenal melekat pada laki-laki di sebelahku. Karena itu, aku kembali menoleh. Meneliti laki-laki di sampingku itu dengan seksama. Dan benar saja. Laki-laki itu mengenakan jaket himpunan jurusanku!
            “Manajemen UNAIR?”
            Laki-laki itu kembali menoleh. Dahinya berkerut samar mendengar pertanyaanku. “Iya.. Punya kenalan?”
            “Saya juga manajemen UNAIR.”
            Untuk sesaat, mata laki-laki itu membulat. Dan saat itulah aku menyadari bahwa laki-laki itu mempunyai warna bola mata cokelat muda yang indah sekali. Senada dengan kulitnya yang kecokelatan. “Oya? Angkatan berapa?”
            “2012,” sahutku pelan sambil berusaha menerka angkatan berapa laki-laki di sampingku ini.
            Laki-laki itu mengangguk-angguk. “Oh.. Pantesan kayak pernah lihat,” ujarnya lalu mengulurkan tangan. “Aku Azhar. Angkatan 2012 juga,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
            Untuk beberapa detik aku serasa tersihir dengan senyumannya. Sebelum akhirnya menjabat tangan besar yang hangat itu. “Kania.”
            Dan begitulah. Di tengah rintik hujan yang mulai menipis.. Di tengah aroma tanah yang ditinggalkan hujan.. Cinta mulai tersemai. Di hatiku. Entah bagaimana di hatinya..

Aku suka melihat pelangi dengan tumpukan warnanya.. Kau juga suka..
Aku suka membayangkanmu yang penuh warna saat melihatnya.. Apakah kau juga?
            “Zhar kamu udah ngerjain laporan managemen?” Aku bertanya sambil membolak-balik lembar-lembar laporan di tanganku.
            “Belum,” jawab Azhar singkat.
            “Sama sekali?”
            “Iya. Kan kita belum survey lokasi.”
            Dahiku mengernyit. Tunggu. Survey lokasi? “Itu kan tugas statistik.”
            Tak ada sahutan dari Azhar, membuatku mengangkat kepala. Dan yang kulihat setelahnya adalah pandangan Azhar yang mengarah pada satu titik. Tak ada kedipan dalam jangka waktu yang lama. Ketika aku mengikuti arah pandangannya dan mengetahui objek yang daritadi dipandanginya, dadaku mendadak sesak. Oksigen seakan lenyap dari peredaran. Dia.. Seseorang yang ditatap Azhar. Seseorang yang selalu ditatap Azhar. Seseorang yang ternyata, masih saja ada dalam pantulan matanya. Naira.. Mantan kekasihnya.
            Sudah setahun lebih Azhar putus hubungan dengan Naira. Waktu yang cukup lama untuk melupakan semuanya kurasa. Tapi ternyata aku salah. Bagi Azhar, waktu selama itu tak berarti apa-apa. Tak mengurangi sedikitpun rasanya untuk gadis itu. Tak mengurangi hasratnya untuk kembali bersama gadis itu. Dan tentu saja, tak membuatnya berpaling sama sekali.
            Yah, tentu saja. Untuk apa Azhar berpaling dari gadis sesempurna itu? Gadis yang membuat semua gadis di sekelilingnya menyimpan iri dalam hati karena kesempurnaanya. Tak usah dijelaskan seperti apa. Yang jelas, Naira adalah cerminan gadis sempurna yang seharusnya hanya ada dalam cerita-cerita fiktif, cerita-cerita yang kadang tak masuk akal.
            Aku menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan mataku yang mulai basah. Sudah dua tahun aku mengenal Azhar. Yang artinya, sudah dua tahun pula aku menyimpan rasaku sendiri. Setahun pertama terlewati dengan sangat sulit karena Azhar masih bersama Naira. Yang artinya, aku harus pandai-pandai menjaga perasaan. Tahun kedua, setahun ini tepatnya, kurasa akan lebih mudah karena Azhar dan Naira putus hubungan dengan alasan yang tidak jelas. Tapi lagi-lagi, aku salah. Ini jelas tak lebih mudah dari sebelumnya. Mereka memang putus hubungan. Tapi pikiran Azhar justru semakin melekat pada Naira. Dan tentu saja, tak ada ruang untukku dalam pikirannya. Dan aku mencoba untuk sabar. Menunggu Azhar siap menerima cinta baru dalam hidupnya. Tapi belakangan ini aku sering bertanya-tanya. Sampai kapan aku harus menunggu?

Katanya, cinta tak pernah membuatmu menunggu..
Lalu disebut apa waktu yang selama ini kuhabiskan untukmu?
            “Kamu masih belum bilang ke Azhar soal perasaanmu?”
            Suara Riena mengusik lamunanku. Aku menarik napas pendek. Kesal. Kenapa belakangan ini Riena selalu memilih bangku di sebelahku? Masih banyak bangku lain!
            Aku diam saja. Memilih tak menjawab pertanyaannya.
            “Kamu nggak sedang menunggu kan? Menunggu Azhar mencintaimu maksudku,” ujar Riena.
            Bukan urusanmu! Sebenarnya itu yang ingin kukatakan. Tapi segera kuurungkan. Aku sedang kehilangan mood untuk melakukan apapun. Termasuk meladeni semua omong kosong Riena.
            “Cinta nggak pernah membuatmu menunggu. Kalau kamu merasa sedang menunggu, kamu nggak benar-benar mencintainya. Karena setidaknya, cinta tak pernah membuatmu merasa menunggu.”
            Aku masih diam mencerna kata-kata Riena barusan. Menunggu? Itukah yang kulakukan selama ini? Menunggu Azhar melihatku? Menungggu Azhar memberikan kesempatan untukku? Menunggu Azhar membuka hatinya untukku? Kalu bukan menunggu, lantas disebut apa semua waktu yang keberikan untuk Azhar? Disebut apa semua perubahan yang kulakukan untuk Azhar?
            “Harapan.. Semua waktu yang kamu berikan itu adalah harapan kalau kamu benar-benar cinta,” sahut Riena seakan tahu pertanyaan yang menari-nari dalam kepalaku. Aku jadi curiga kalau Riena ini sebenarnya adalah cenayang karena daritadi ia tahu apa yang sedang kupikirkan.
            “Mencintai sendiri itu sama dengan nol.” Riena kembali berujar, membuatku diam-diam mendengarkannya. “Sebanyak apapun kamu mengumpulkan angka nol, hasilnya sama saja. Sia-sia.”
            Aku terhenyak mendengar perkataan Riena. iena Kata-katanya barusan benar-benar menghujam tepat di ulu hatiku. Nyeri. Bukan karena tersinggung. Tapi nyeri karena aku menyadari bahwa apa yang dikatakan Riena adalah benar. Nyeri karena menyadari bahwa, memang apa yang kulakukan selama ini sia-sia. Bahwa mencintai sendiri itu tak ada gunanya. Bahwa selama ini aku hanya sibuk menunggu dan mengurusi hatiku yang tak juga terpaut. Bahwa aku ternyata tak pernah berusaha maju.
            “Katakan.. Atau berhenti sebelum terlambat,” pungkas Riena sebelum membuka diktat kuliahnya. Lalu seakan tenggelam di dalamnya.
            Angin bertiup pelan dari jendela besar di sebelahku yang tadi sengaja kubuka. Segar. Menyapu tetes-tetes keringat yang sempat mampir di ujung-ujung kulitku. Mataku menatap lurus Azhar yang sekarang tengah tertawa-tawa di barisan depan bersama beberappa teman lelakinya. Dan pikiran itu muncul di kepalaku. Cepat. Tegas. Meminta untuk segera dikerjakan.
            Akuu harus membuat keputusan. Sekarang. Seperti kata Riena, katakan.. atau berhenti sebelum terlambat..


Saat sendiri, aku selalu bertanya-tanya..
Kapan kau akan mengulurkan tanganmu padaku?
Menepis semua sepi di hatiku..
Saat jauh darimu, aku selalu bertanya-tanya..
Akankah kau merindukanku?
Seperti aku yang rasanya dicekik rindu setiap waktu..
Saat berdiri di hadapanmu..
Aku hanya berharap satu..
Semoga kau cepat melupakan masa lalumu..

0 komentar:

Posting Komentar

 

Your Sunday Morning.. Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipietoon Blogger Template Image by Online Journal