Seperti bunga yang mengikuti arah
matahari.. Seperti itulah rasaku.. Menuju hatimu..
“Aku
suka cewek yang menggerai rambutnya. Cantik. Anggun..”
Aku
membuka mulut beberapa saat, lalu menutupnya lagi. Balasan semacam ‘Menggerai rambut itu gerah, ribet.” kutelan begitu saja. Kumakan sendiri. Karena
aku tahu, besok tentu saja aku akan mengikuti apa maumu. Menggerai rambut
panjangku..
Besoknya, ketika kamu
melihat gadis dengan rok-rok panjang, kamu berkata lagi. “Perempuan yang pakai
rok itu manis ya.. Keliatan dewasa.. Sedap dipandang mata.”
Aku
hendak membalas, ‘Pakai rok itu nggak
bisa gerak bebas.”. Tapi lagi-lagi, kutelan sendiri kata-kata itu. Karena
aku tahu, malam ini aku akan ke toko baju, membeli rok yang cantik, lalu
memakainya besok.
Besoknya lagi, ketika
kita makan di salah satu cafe, kamu berkata “High heels itu selalu membuat kaki perempuan berkali-kali lipat lebih
indah.”
Kata-kata itu sudah
hampir terlontar. ‘High heels itu
menakutkan. Nggak bisa dipakai jalan cepat.’ Tapi sia-sia. Aku kembali
memendamnya. Karena aku tahu, nanti malam pasti aku akan meminjam high heels ibuku. Lalu memakainya
besok.. Untukmu..
Ya, selama ini, aku tak
pernah lelah melakukan semuanya untukmu. Menelan, memendam sendiri inginku.
Tapi sekarang aku bertanya-tanya. Kapan kamu akan melihatku?
Aku
sedang menghitung waktu.. Menanti saat hatimu mempertimbangkanku..
Suatu
hari, Riena, salah satu temanku di kelas managemen, bertanya padaku. “Kania,
kamu suka sama Azhar?”
Aku
diam sebentar, lalu tersenyum. Semua orang tahu tentang perasaanku itu. Kedekatan
kami dua tahun ini menceritakan semuanya tanpa aku perlu repot-repot
menjelaskan. Ya, semua orang. Kecuali Azhar sepertinya.
“Kamu
udah bilang sama dia?”
Aku
hanya menggeleng. Mengatakan padanya bahwa aku mencintainya? Yang benar saja!
“Mencintai
sendiri itu nggak pernah enak. Menyiksa. Mending kamu cepat bilang. Kalau dia
nggak suka, kamu bisa mundur. Daripada jadi perkara.”
Aku
termenung mendengar perkataan Riena yang lumayan menohok barusan. Riena memang
seperti itu. Ia jarang bicara. Tapi sedikit saja ia mengeluarkan suara,
kata-katanya tajam dan langsung mengena. Tapi.. bukankah apa yang dikatakan
Riena barusan ada benarnya? Bahwa jujur saja, mencintai sendiri itu tidak
mudah.. Bahwa terkadang, mencintai sendiri itu melelahkan..
Jadi
apa yang harus aku lakukan? Menemui Azhar dan mengatakan semua yang kurasakan
terhadapnya? Rasanya itu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan di dunia ini.
Ketika
senja.. Ketika hujan menebar aroma wanginya.. Ketika itulah kau datang..
“Boleh
aku duduk?”
Aku mengangkat kepala dan menemukan
seorang laki-laki dengan tubuh setengah basah berdiri di hadapanku. Di luar
hujan sedang turun rintik-rintik. Mungkin laki-laki itu baru saja menerobos
hujan.
“Silahkan,” sahutku sambil menggeser
posisi tubuhku. Tempat duduk lain di halte ini memang sudah penuh. Sebagian
diisi orang-orang yang berteduh, menunggu hujan berhenti. Sepertiku.
Laki-laki itu segera duduk.
Tangannya langsung sibuk menekan-nekan tombol di ponselnya. Sesekali juga
melirik jam tangannya. Terlihat sibuk sekali. Sama sekali tak memperdulikan
tetes air yang jatuh dari bajunya yang setengah basah.
“Ini.” Entah bagaima caranya, aku
mengangsurkan sebungkus tissue pada laki-laki itu. Biasanya aku tak pernah
begini. Entahlah.. Aku hanya merasa setidaknya ia perlu mengeringkan wajahnya
yang kuyup karena air hujan.
Laki-laki itu menatap sebungkus
tissue itu dengan kening berkerut, kemudian menatapku sebentar. Sejurus
kemudian ia meraih sebungkus tissue yang kuangsurkan. “Terimakasih,” ucapnya
sambil tersenyum sekilas.
Aku hanya menganggguk, lalu bemaksud
kembali menekuni novel dalam pangkuanku. Tapi belum sempat niat itu terlaksana,
mataku menangkap sesuatu yang sepertinya kukenal melekat pada laki-laki di
sebelahku. Karena itu, aku kembali menoleh. Meneliti laki-laki di sampingku itu
dengan seksama. Dan benar saja. Laki-laki itu mengenakan jaket himpunan
jurusanku!
“Manajemen UNAIR?”
Laki-laki itu kembali menoleh.
Dahinya berkerut samar mendengar pertanyaanku. “Iya.. Punya kenalan?”
“Saya juga manajemen UNAIR.”
Untuk sesaat, mata laki-laki itu
membulat. Dan saat itulah aku menyadari bahwa laki-laki itu mempunyai warna
bola mata cokelat muda yang indah sekali. Senada dengan kulitnya yang
kecokelatan. “Oya? Angkatan berapa?”
“2012,” sahutku pelan sambil
berusaha menerka angkatan berapa laki-laki di sampingku ini.
Laki-laki itu mengangguk-angguk.
“Oh.. Pantesan kayak pernah lihat,” ujarnya lalu mengulurkan tangan. “Aku Azhar.
Angkatan 2012 juga,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
Untuk beberapa detik aku serasa
tersihir dengan senyumannya. Sebelum akhirnya menjabat tangan besar yang hangat
itu. “Kania.”
Dan begitulah. Di tengah rintik
hujan yang mulai menipis.. Di tengah aroma tanah yang ditinggalkan hujan..
Cinta mulai tersemai. Di hatiku. Entah bagaimana di hatinya..
Aku
suka melihat pelangi dengan tumpukan warnanya.. Kau juga suka..
Aku
suka membayangkanmu yang penuh warna saat melihatnya.. Apakah kau juga?
“Zhar kamu udah
ngerjain laporan managemen?” Aku bertanya sambil membolak-balik lembar-lembar
laporan di tanganku.
“Belum,”
jawab Azhar singkat.
“Sama
sekali?”
“Iya.
Kan kita belum survey lokasi.”
Dahiku
mengernyit. Tunggu. Survey lokasi? “Itu kan tugas statistik.”
Tak
ada sahutan dari Azhar, membuatku mengangkat kepala. Dan yang kulihat
setelahnya adalah pandangan Azhar yang mengarah pada satu titik. Tak ada
kedipan dalam jangka waktu yang lama. Ketika aku mengikuti arah pandangannya
dan mengetahui objek yang daritadi dipandanginya, dadaku mendadak sesak.
Oksigen seakan lenyap dari peredaran. Dia.. Seseorang yang ditatap Azhar.
Seseorang yang selalu ditatap Azhar. Seseorang yang ternyata, masih saja ada
dalam pantulan matanya. Naira.. Mantan kekasihnya.
Sudah
setahun lebih Azhar putus hubungan dengan Naira. Waktu yang cukup lama untuk
melupakan semuanya kurasa. Tapi ternyata aku salah. Bagi Azhar, waktu selama
itu tak berarti apa-apa. Tak mengurangi sedikitpun rasanya untuk gadis itu. Tak
mengurangi hasratnya untuk kembali bersama gadis itu. Dan tentu saja, tak
membuatnya berpaling sama sekali.
Yah,
tentu saja. Untuk apa Azhar berpaling dari gadis sesempurna itu? Gadis yang
membuat semua gadis di sekelilingnya menyimpan iri dalam hati karena
kesempurnaanya. Tak usah dijelaskan seperti apa. Yang jelas, Naira adalah
cerminan gadis sempurna yang seharusnya hanya ada dalam cerita-cerita fiktif,
cerita-cerita yang kadang tak masuk akal.
Aku
menunduk dalam-dalam. Menyembunyikan mataku yang mulai basah. Sudah dua tahun
aku mengenal Azhar. Yang artinya, sudah dua tahun pula aku menyimpan rasaku
sendiri. Setahun pertama terlewati dengan sangat sulit karena Azhar masih
bersama Naira. Yang artinya, aku harus pandai-pandai menjaga perasaan. Tahun
kedua, setahun ini tepatnya, kurasa akan lebih mudah karena Azhar dan Naira
putus hubungan dengan alasan yang tidak jelas. Tapi lagi-lagi, aku salah. Ini
jelas tak lebih mudah dari sebelumnya. Mereka memang putus hubungan. Tapi
pikiran Azhar justru semakin melekat pada Naira. Dan tentu saja, tak ada ruang
untukku dalam pikirannya. Dan aku mencoba untuk sabar. Menunggu Azhar siap
menerima cinta baru dalam hidupnya. Tapi belakangan ini aku sering
bertanya-tanya. Sampai kapan aku harus menunggu?
Katanya,
cinta tak pernah membuatmu menunggu..
Lalu
disebut apa waktu yang selama ini kuhabiskan untukmu?
“Kamu
masih belum bilang ke Azhar soal perasaanmu?”
Suara
Riena mengusik lamunanku. Aku menarik napas pendek. Kesal. Kenapa belakangan
ini Riena selalu memilih bangku di sebelahku? Masih banyak bangku lain!
Aku
diam saja. Memilih tak menjawab pertanyaannya.
“Kamu
nggak sedang menunggu kan? Menunggu Azhar mencintaimu maksudku,” ujar Riena.
Bukan
urusanmu! Sebenarnya itu yang ingin kukatakan. Tapi segera kuurungkan. Aku
sedang kehilangan mood untuk melakukan apapun. Termasuk meladeni semua omong
kosong Riena.
“Cinta
nggak pernah membuatmu menunggu. Kalau kamu merasa sedang menunggu, kamu nggak
benar-benar mencintainya. Karena setidaknya, cinta tak pernah membuatmu merasa
menunggu.”
Aku
masih diam mencerna kata-kata Riena barusan. Menunggu? Itukah yang kulakukan
selama ini? Menunggu Azhar melihatku? Menungggu Azhar memberikan kesempatan
untukku? Menunggu Azhar membuka hatinya untukku? Kalu bukan menunggu, lantas
disebut apa semua waktu yang keberikan untuk Azhar? Disebut apa semua perubahan
yang kulakukan untuk Azhar?
“Harapan..
Semua waktu yang kamu berikan itu adalah harapan kalau kamu benar-benar cinta,”
sahut Riena seakan tahu pertanyaan yang menari-nari dalam kepalaku. Aku jadi
curiga kalau Riena ini sebenarnya adalah cenayang karena daritadi ia tahu apa
yang sedang kupikirkan.
“Mencintai
sendiri itu sama dengan nol.” Riena kembali berujar, membuatku diam-diam
mendengarkannya. “Sebanyak apapun kamu mengumpulkan angka nol, hasilnya sama
saja. Sia-sia.”
Aku
terhenyak mendengar perkataan Riena. iena Kata-katanya barusan benar-benar
menghujam tepat di ulu hatiku. Nyeri. Bukan karena tersinggung. Tapi nyeri
karena aku menyadari bahwa apa yang dikatakan Riena adalah benar. Nyeri karena
menyadari bahwa, memang apa yang kulakukan selama ini sia-sia. Bahwa mencintai
sendiri itu tak ada gunanya. Bahwa selama ini aku hanya sibuk menunggu dan
mengurusi hatiku yang tak juga terpaut. Bahwa aku ternyata tak pernah berusaha
maju.
“Katakan..
Atau berhenti sebelum terlambat,” pungkas Riena sebelum membuka diktat
kuliahnya. Lalu seakan tenggelam di dalamnya.
Angin
bertiup pelan dari jendela besar di sebelahku yang tadi sengaja kubuka. Segar.
Menyapu tetes-tetes keringat yang sempat mampir di ujung-ujung kulitku. Mataku
menatap lurus Azhar yang sekarang tengah tertawa-tawa di barisan depan bersama
beberappa teman lelakinya. Dan pikiran itu muncul di kepalaku. Cepat. Tegas.
Meminta untuk segera dikerjakan.
Akuu
harus membuat keputusan. Sekarang. Seperti kata Riena, katakan.. atau berhenti
sebelum terlambat..
Saat
sendiri, aku selalu bertanya-tanya..
Kapan
kau akan mengulurkan tanganmu padaku?
Menepis
semua sepi di hatiku..
Saat
jauh darimu, aku selalu bertanya-tanya..
Akankah
kau merindukanku?
Seperti
aku yang rasanya dicekik rindu setiap waktu..
Saat
berdiri di hadapanmu..
Aku
hanya berharap satu..
Semoga
kau cepat melupakan masa lalumu..
0 komentar on "NOL"
Posting Komentar